Kata ‘orangutan’ berasal dari bahasa Indonesia yaitu ‘orang’ yang berarti manusia dan ‘utan’ yang berarti hutan; Dengan demikian, ‘orangutan’ diterjemahkan sebagai ‘orang yang tinggal di hutan’. Kera besar yang menakjubkan ini memiliki lebih banyak kesamaan dengan manusia daripada yang disiratkan namanya. Tidak hanya dalam hal kedekatan nenek moyang, juga anatomi fisik kita yang serupa, tapi juga rasa ketidaksukaan saat terjebak dalam hujan!
Saat hujan mulai turun, manusia akan membuka payung, memakai jas hujan, atau berlari cepat ke tempat berteduh terdekat. Orangutan tentu saja tidak memiliki payung, mantel, atau bangunan untuk berlindung. Apa yang mereka miliki adalah hutan – dan seluruh isinya! Selama saya bekerja di kebun binatang Amerika dan di hutan Kalimantan, saya mengamati bahwa orangutan dengan cerdiknya menggunakan cabang sebagai payung sementara untuk melindungi dirinya saat hujan mulai turun.
Baru-baru ini, saya sedang duduk di Kamp saat hujan badai pagi hari membuat kami menunda perjalanan ke hutan untuk mengamati orangutan. Sebagai gantinya, hari itu diisi dengan kegiatan entri data, perbaikan peralatan rusak, dan menulis anekdot singkat seperti ini, untuk berbagi sekilas kehidupan di Batikap dengan dunia. Hari-hari seperti ini tidak jarang terjadi di Indonesia: Ya, inilah musim hujan!
Hujan di Kamp
Meski hujan, sebagian besar hari-hari kami, masih dihabiskan untuk melacak orangutan di hutan. Akhir-akhir ini, sayangnya, sebagian besar usaha kami tidak membuahkan hasil. Jadi, ke mana semua orangutan pergi? Ada banyak kemungkinan jawaban atas pertanyaan ini. Mereka bisa saja menjelajah jauh untuk mencari makanan. Atau berkeliaran mencari pasangan potensial. Jika anda bertanya kepada saya, saya menduga mereka ada di sini, tapi bersembunyi dari hujan! Dengan tubuh besar dan rambut oranye terang, orangutan sangat menyatu dengan puncak pohon yang mereka sebut rumah. Ketika mereka berhenti di sarang mereka dan menarik daun ke atas kepala mereka untuk berlindung dari hujan, mereka hampir-hampir tidak terlihat.
Saya tidak akan pernah lupa hari ketika saya melihat Mardianto membangun sarang malamnya: hujan mulai turun saat dia merasa nyaman, dan Mardianto tidak senang! Dia perlahan menarik daun ke tubuhnya untuk menyelimuti dirinya sendiri. Saya pikir ini adalah akhir dari itu, hingga ia membalik beberapa daun lagi di atas kepalanya dan menghilang! Tiba-tiba, satu-satunya cara untuk melihat Mardianto adalah dengan binokular, dan bahkan saat itu, yang bisa Anda lihat hanyalah sepasang mata yang mengintip dari balik tumpukan daun! Seperti pertapa di sebuah gubuk, Mardianto aman, bahagia dan tidak kehujanan!
Mardianto
Teks oleh: Andrea Knox, Koordinator PRM di Hutan Konservasi Batikap